Kamis, 11 November 2010

Aksi Bunuh Diri Disiarkan Live di Internet di Jepang


http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2008/02/06/202832p.jpg

Seorang pria Jepang melakukan bunuh diri yang disiarkan secara langsung (live) di internet setelah bertengkar sengit dengan pengguna internet lain yang menantangnya untuk mati, demikian laporan sejumlah media negara itu Rabu (10/11).

Pria berusia 24 tahun dari kota Sendai di utara Jepang itu ditemukan tewas Selasa pagi di apartemennya oleh polisi setempat, yang menerima laporan dari para pengguna internet, lapor harian Yomiuri Shimbun. Orang itu, yang tinggal sendirian, telah mengambil cuti sakit yang diperpanjang dari kantornya sejak Agustus lalu dan telah mem-posting keluhan tentang pekerjaannya, kata harian Sankei Shimbun sebagaimana dikutip AFP.

Pria tersebut mulai menyiarkan gambar-gambar tentang dirinya pada layanan live streamingSankei.

Siarannya menerima banyak pesan, beberapa pengguna internet mendorong dia untuk bunuh diri dengan cepat, yang lain mendesak dia untuk tidak melakukan rencananya. Ustream menghentikan siaran itu setelah pukul 06.00 hari Selasa, menyusul laporan tentang peningkatan jumlah pemirsa, lapor Yomiuri.

Jepang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Tahun lalu tercatat lebih dari 32.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Ustream, Minggu malam lalu. Ia mengumumkan rencananya untuk bunuh diri dan membahas pandangannya tentang kehidupan. Setelah sempat jeda, siarannya kembali muncul Selasa pagi dan dia tampak menggantung diri di apartemennya pada sekitar pukul 05.30 pagi waktu setempat, lapor

sumber http://www.i-dus.com/2010/11/gokiel-aksi-bunuh-diri-disiar-live-di.html

7 Penyebab Mengapa Kualitas Pendidikan di Indonesia Rendah

Berikut ini 7 alasan utama mengapa kualitas pendidikan Indonesia masih rendah:

http://muriwandany.files.wordpress.com/2010/08/pendidikan2.jpg

1. Pembelajaran yang terpaku pada buku paket (KURIKULUM BUKU PAKET)

Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak 60-70an Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi “kitab suci” pengarajaran guru. Jika tidak percaya, cobalah tanya guru, apakah mereka bisa mengajar tanpa menggunakan buku paket sebagai buku pegangan?

2. Model pembelajaran Ceramah melulu

Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode BERCERAMAH. Karena berceramaha itu mudah dan ringan, tanpa persiapan banyak, tanpa membutuhkan sarana yang banyak, tanpa persiapan yang rumit, pokoknya mudah banget. Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar dikuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar? Pernahkah guru membawa anak-anak melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar? Atau pernahkah guru membawa seorang tentara langsung di kelas untuk menjelaskan profesi tentara?

3. Kurangnya daya dukung sarana prasarana dari regulator

Sebenarnya sih perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang banget. Pemerintah yang getol memberikan pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan CERAMAH!

4. Peraturan yang membelenggu

Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu” kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan tor-tor lainnya.

5. Guru tidak mengajari keterampilan bertanya, murid tidak berani betanya (KOMPETENSI SETENGAH)

Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. Anak “dipaksa” mendengar dan menerima inoformasi sejak pagi hingga siang. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya anak tidak dilatih untuk bertanya. Anak tidak dibiasakan bertanya, anak tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.

6. Guru tidak berani mengajukan pertanyaan terbuka (KURANG KREATIF)

Salah satu ciri negara FINLANDIA yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Di Indoneisa? Wah tunggu dulu, nanti banyak yang nyontek dong, begitu kilah seorang guru. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira kilah guru.


7. Siswa menyontek, guru pun juga (BUDAYA MENYONTEK)

Siswa menyontek itu biasa terjadi. Tapi guru menyontek? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, menyontek telah merasuki sosok guru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar